EPTIK - Infringement of Privacy
Pengertian Infringement of Privacy
Kejahatan ini ditujukan terhadap
informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan
pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi, yang apabila
diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun
immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya.
Pengertian Privacy menurut para ahli
Kemampuan seseorang untuk mengatur informasi mengenai dirinya sendiri. [Craig
van Slyke dan France Bélanger] dan hak dari masing-masing individu untuk
menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan untuk apa penggunaan informasi
mengenai mereka dalam hal berhubungan dengan individu lain. [Alan Westin].
Kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggris:
privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan
kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus
informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas
walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik.
Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi oleh
pemerintah, perusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di banyak
negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara memiliki
hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh, aturan
pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada
beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan
berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik
yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara sukarela
dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan
sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian.
Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau
kompetisi; seseorang memberikan detail personalnya (sering untuk kepentingan
periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh
lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri
atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.
Privasi sebagai terminologi tidaklah
berasal dari akar budaya masyarakat Indonesia. Samuel D Warren dan Louis D
Brandeis menulis artikel berjudul "Right to Privacy" di Harvard Law
Review tahun 1890. Mereka seperti hal nya Thomas Cooley di tahun 1888
menggambarkan "Right to Privacy" sebagai "Right to be Let
Alone" atau secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai hak untuk tidak
di usik dalam kehidupan pribadinya. Hak atas Privasi dapat diterjemahkan
sebagai hak dari setiap orang untuk melindungi aspek-aspek pribadi kehidupannya
untuk dimasuki dan dipergunakan oleh orang lain (Donnald M Gillmor, 1990 :
281). Setiap orang yang merasa privasinya dilanggar memiliki hak untuk
mengajukan gugatan yang dikenal dengan istilah Privacy Tort. Sebagai acuan guna
mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran Privasi dapat digunakan catatan dari
William Prosser yang pada tahun 1960 memaparkan hasil penelitiannya terhadap
300 an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian yang dilakukan Proses atas
bentuk umum peristiwa yang sering dijadikan dasar gugatan Privasi yaitu dapat
kita jadikan petunjuk untuk memahami Privasi terkait dengan media.
Privasi merupakan tingkatan interaksi
atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi
tertentu. tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau
ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau
justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain.
adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau kemampuan
untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan dipandang
hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain
dalam rangka menyepi saja.
Teknologi internet ini melahirkan
berbagai macam dampak positif dan dampak negatif. Dampak negatif ini telah
memunculkan berbagai kejahatan maya (cyber crime) yang meresahkan masyarakat
Internasional pada umunya dan masyarakat Indonesia pada khususnya. Kejahatan
tersebut perlu mendapatkan tindakan yang tegas dengan dikeluarkan Undang-Undang
terhadap kejahatan mayantara yaitu dengan dikeluarkan UU no. 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Ekonomi, yang merupakan usaha untuk memberikan
kepastian hukum tentang kerugian akibat cyber crime tersebut. Undang-Undang ini
akibat dari lemahnya penegakan hukum yang digunakan sebelumnya yang mengacu
pada KUHP dan peraturan perundingan lain seperti hak cipta, paten, monopoli,
merek, telekomunikasi dan perlindungan konsumen.
Kejahatan Mayantara ini bersifat
transnasional, dan karena kasusnya sudah sedemekian seriusnya, sehingga selain
hukum nasional juga dalam konvensi-konvensi internasional sehingga perlu
kepastian hukum dalam mencegah dan menanggulanginya. Berbagai upaya digunakan
dalam menindak pelaku cyber crime dengan Undang-Undang yang sesuai dengan
kebutuhan perkembangan teknologi informasi di Indonesia.
Faktor Penyebab Infringement of Privacy
Kesadaran Hukum
Masyarakat Indonesia sampai saat ini dalam merespon
aktivitas cyber crime masih
dirasa kurang Hal ini disebabkan
antara lain oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan (lack of information)
masyarakat terhadap jenis kejahatan cyber crime. Lack of information ini menyebabkan upaya penanggulangan cyber
crime mengalami kendala, yaitu kendala yang berkenaan dengan
penataan hukum dan
proses pengawasan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas yang
diduga berkaitan dengan cyber crime. Mengenai kendala yakni proses
penaatan terhadap hukum, jika masyarakat di Indonesia memiliki pemahaman yang
benar akan tindak pidana cyber crime maka baik secara langsung maupun
tidak langsung masyarakat akan membentuk suatu pola penataan. Pola penataan ini
dapat berdasarkan karena ketakutan akan ancaman pidana yang dikenakan bila
melakukan perbuatan cyber crime atau pola penaatan ini tumbuh atas
kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum. Melalui pemahaman yang
komprehensif mengenai cyber crime, menimbulkan peran masyarakat dalam
upaya pengawasan, ketika masyarakat mengalami lack of information, peran
mereka akan menjadi mandul.
Faktor Penegakan
Hukum
Masih sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk
beluk teknologi informasi (internet), sehingga pada saat pelaku tindak pidana
ditangkap, aparat penegak hukum mengalami, kesulitan untuk menemukan alat bukti
yang dapat dipakai menjerat pelaku, terlebih apabila kejahatan yang dilakukan
memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit. Aparat penegak hukum di daerah
pun belum siap dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini karena masih banyak
institusi kepolisian di daerah baik Polres maupun Polsek, belum dilengkapi
dengan jaringan internet. Perlu diketahui, dengan teknologi yang sedemikian
canggih, memungkinkan kejahatan dilakukan disatu daerah.
Faktor Ketiadaan Undang-Undang
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum
tidak selalu berlangsung bersama- sama, artinya pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya
dari masyarakat.Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki perangkat
perundang-undangan yang mengatur tentang cyber crime belum juga terwujud. Cyber
crime memang sulit untuk dinyatakan atau dikategorikan sebagai tindak pidana
karena terbentur oleh asas legalitas. Untuk melakukan upaya penegakan hukum
terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung membatasi penegak hukum di
Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun penyidikan guna mengungkap
perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang yang mengatur cyber crime
belum tersedia. Asas legalitas ini tidak memperbolehkan adanya suatu analogi
untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun penerapan asas legalitas ini tidak
boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya asas ini tidak diterapkan secara tegas
atau diperkenankan untuk terdapat pengecualian.
Landasan Hukum Infringement of Privacy
Undang – Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik
Nomor 11 Tahun 2008 Presiden Republik Indonesia Menimbang) :
1.
Bahwa pembangunan nasional adalah
salah satu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap
berbagai dinamika di masyarakat.
2.
Bahwa globalisasi informasi telah
menempatkan indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dan transaksi
elektronik di tingkat nasional seentuk hingga pembangunan teknologi informasi
dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
3.
Bahwa perkembangan dan kemajuan
teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi
lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
4.
Bahwa penggunaan dan pemanfaatan
teknologi informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan
memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan
perundang-undangan demi kepentingan nasional.
5.
Bahwa pemanfaaatn teknologi
informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian
nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
6.
Bahwa pemerintah perlu mendukung
pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturanya
sehingga pemanfaatan teknologi informasi memperhatikan nilai-nilai agama dan
sosial budaya masyarakat indonesia.
7.
Bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f, perlu membentuk undang-undang tentang informasi dan transaksi
elektronik.
Dan akhirnya Presiden republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan menetapkan ,Undang-undang
tentang informasi transaksi elektronik:
Bab
I, tentang Ketentuan Umum Bab II, tentang Asas dan Tujuan
Bab III, tentang informasi,dokumen,dan tanda tangan
elektronik
Bab
IV, tentang penyelenggaran dan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik Bab
V, tentang transaksi elektronik
Bab
VI, tentang domain hak kekayaan intelektual,dan perlindungan hak pribadi Bab
VII, tentang perbuatan yang dilarang
Bab VIII, tentang penyelesain sengketa
Bab
IX, tentang peran pemerintah dan masyarakat Bab X, tentang penyidikan
Bab
XI, tentang ketentuan pidana Bab XII, tentang ketentuan peralihan Bab XIII,
tentang ketentuan penutup Atau UU ITE pasl 27 ayat 3.
Bunyi Pasal 27
ayat 3 adalah sebagai berikut :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik. Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1
adalah :Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Seperti halnya porno dan tidak porno, maka merasa terhina
atau tidak terhina juga berada dalam domain yang sama yaitu subjektifitas. Tiap
orang tentunya akan berbeda-beda merasakannya. Tergantung apakah orang tersebut
pendendam atau pemaaf, dan penerima kritik atau antikritik. Pasal penghinaan
atau pencemaran nama baik bisa dikatakan pasal karet, pasal yang dapat
ditarik-tarik seenaknya. Orang hukum mungkin mengatakannya sebagai hal yang
tidak memiliki kepastian hukum. Belum lagi pasal ini ternyata juga sudah
dibahas dalam undang-undang yang lain yaitu KUHP Pasal 311. Saling tindih suatu
aturan yang sama membuat UU menjadi tidak efisien. Semoga saja ini bukan karena
para pembuatnya memiliki OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Lalu masalah hukuman
yang begitu berat yaitu 1 milyar rupiah. Apa dasarnya? Mungkin bagi orang kaya,
1 M itu bisa dibayar. Tapi buat 15,42 % (Data BPS, Maret 2008) orang miskin di
Indonesia, belum lagi ditambah orang tingkat ekonomi menengah kebawah.Uang 1 milyar itu sangatlah tidak
terjangkau. Apa mungkin pesan implisit dari Pasal 27 ayat 3 UU-ITE ini adalah
orang miskin dilarang menghina dan mengkritik di internet? Baiklah, Saya masih
miskin saat ini. Saya tidak punya uang 1 milyar untuk menebus harga diri
seseorang/sesuatu yang merasa dicemarkan dalam tulisan-tulisan saya. Saya juga
tidak cukup punya waktu untuk kehilangan 6 tahun dipenjara karena unfinished
tasks saya sudah sangat banyak. Namun apa mau dikata, UU-ITE telah ditetapkan
bahkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak pengujian pasal 27 ayat 3 UU
ITE. Sekali lagi orang miskin (yang tak punya 1 milyar) mungkin tinggal
menunggu belas kasihan sistem keadilan yang berpihak pada para penguasa uang.
Sedangkan di Negara lain misalkan di Amerika Serikat yaitu
RUU SOPA dan PIPA. SOPA adalah singkatan Stop Online Piracy Act. Yaitu
rancangan undang-undang penghentian pembajakan online. RUU ini diusulkan
pertamakali oleh Kongres ke Gedung Parlemen pada 26 Oktober 2011. Dengan UU
SOPA, penegak hukum di AS dapat lebih leluasa bertindak kegiatan online yang
dianggap illegal.
PIPA adalah singkatan dari Protect Intellectual Property
Act atau RUU Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. RUU PIPA bertama kali
diusulkan pada 12 Mei 2011 oleh Senator Patrick Leahy. RUU tersebut berisi
definisi tentang pelanggaran yang disebabkan oleh pendistribusian salinan palsu
atauillegal copies dan barang palsu.
RUU
ini bertujuan untuk :
a.
Melindungi kekayaan intelektual dari pencipta konten
b.
Perlindungan terhadap obat-obatan palsu
c.
Setelah RUU SOPA dan PIPA muncul juga RUU CISPA.
d.
CISPA adalah singkatan dari Cyber
Intelligence Sharing and Protection Act.Adapun Kutipan dari CISPA atau Sharing
Intelijen Cyber dan Undang-Undang Perlindungan:
"Menyimpang dari ketentuan hukum lain, sebuah entitas
mandiri yang dilindungi mungkin, untuk tujuan cybersecurity” - (i) menggunakan
sistem cybersecurity untuk mengidentifikasi dan memperoleh informasi
cyberthreat untuk melindungi hak-hak dan milik diri seperti dilindungi entitas,
dan (ii) saham cyberthreat seperti informasi dengan entitas lain, termasuk
Pemerintah Federal.
Contoh Kasus
Mengirim dan mendistribusikan dokumen
yang bersifat pornografi, menghina, mencemarkan nama baik, dll. Contohnya
pernah terjadi pada Prita Mulyasari yang menurut pihak tertentu telah
mencemarkan nama baik karena surat elektronik yang dibuat olehnya.
a.
Melakukan penyadapan informasi. Seperti halnya
menyadap transmisi data orang lain.
b.
Melakukan penggadaan
tanpa ijin pihak
yang berwenang. Bisa
juga disebut dengan hijacking. Hijacking
merupakan kejahatan melakukan pembajakan hasil karya orang lain. Contoh yang sering terjadi yaitu
pembajakan perangkat lunak (Software Piracy).
c.
Melakukan pembobolan secara sengaja
ke dalam sistem komputer. Hal ini juga dikenal dengan istilah Unauthorized
Access. Atau bisa juga diartikan sebagai kejahatan yang terjadi ketika
seseorang memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara
tidak sah, tanpa izin, atau tanpa sepengetahuan pemilik sistem jaringan
komputer yang dimasukinya. Jelas itu sangat melanggar privasi pihak yang
berkepentingan (pemilik sistem jaringan komputer). Contoh kejahatan ini adalah
probing dan port.
d.
Memanipulasi, mengubah atau
menghilangkan informasi yang sebenarnya. Misalnya data forgery atau kejahatan
yang dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang
ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau
lembaga yang memiliki situs berbasis web database. Contoh lainnya adalah Cyber
Espionage, Sabotage, dan Extortion. Cyber Espionage merupakan kejahatan yang
memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap
pihak lain dengan memasuki sistem jaringan komputernya.
Sabotage dan Extortion merupakan jenis kejahatan yang
dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu
data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan
internet.
e.
Google telah didenda 22.5 juta
dolar Amerika karena melanggar privacy jutaan orang yang menggunakan web
browser milik Apple, Safari. Denda atas Google kecil saja dibandingkan dengan
pendapatannya di kwartal kedua. (Credit: Reuters) Denda itu, yang diumumkan
oleh Komisi Perdagangan Federal
Amerika Serikat (FTC), adalah yang terbesar yang pernah
dikenakan atas sebuah perusahaan yang melanggar persetujuan
sebelumnya dengan komisi tersebut. Oktober lalu Google menandatangani sebuah
persetujuan yang mencakup janji untuk tidak menyesatkan konsumen tentang
praktik-praktik privacy. Tapi Google dituduh menggunakan cookies untuk secara
rahasia melacak kebiasaan dari jutaan orang yang menggunakan Safari internet
browser milik Apple di iPhone dan iPads. Google mengatakan, pelacakan itu tidak
disengaja dan Google tidak mengambil informasi pribadi seperti nama, alamat
atau data kartu kredit.
Google sudah setuju untuk membayar denda tadi, yang
merupakan penalti terbesar yang
pernah dijatuhkan atas sebuah perusahaan yang melanggar instruksi FTC.
Contoh kasus diatas sangat mungkin untuk terjadi pula di
pertelevisian Indonesia. Momentum pelanggaran Privasi dapat berlangsung pada
proses peliputan berita dan dapat pula terjadi pada penyebarluasan
(broadcasting) nya.Dalam proses peliputan, seorang objek berita dapat saja
merasakan derita akibat tindakan reporter yang secara berlebihan mengganggu
wilayah pribadi nya. Kegigihan seorang reporter mengejar berita bisa
mengakibatkan terlewatinya batas-batas kebebasan gerak dan kenyamanan pribadi
yang sepatutnya tidak di usik. Hak atas kebebasan bergerak dan melindungi
kehidupan pribadi sebenarnya telah disadari oleh banyak selebritis Indonesia.
Beberapa cuplikan infotainment menggambarkan pernyataan-pernyataan cerdas dari
beberapa selebriti kita tentang haknya untuk melindungi kehidupan pribadinya.
Dalam menentukan batas-batas Privasi dimaksud memang tidak terdapat garis hukum
yang tegas sehingga masih bergantung pada subjektifitas pihak-pihak yang
terlibat. Dalam proses penyebarluasan (penyiaran), pelanggaran Privasi dalam
bentuk fakta memalukan (embarrassing fact) anggapan keliru (false light) lebih
besar kemungkinannya untuk terjadi. Terlanggar atau tidaknya Privasi tentunya
bergantung pada perasaan subjektif si objek berita. Subjektifitas inilah
mungkin yang mendasari terjadinya perbedaan sikap antara PARFI dan PARSI yang
diungkap diatas dimana disatu pihak merasa prihatin dan dipihak lain merasa
berterimakasih atas pemberitaan-pemberitaan infotainment. sebagai contoh :
a.
Pelanggaran terhadap privasi Tora sudiro,
hal ini terjadi Karena wartawan mendatangi rumahnya tanpa izin dari Tora.
b.
Pelanggaran terhadap privasi
Aburizal bakrie, hal ini terjadi karena publikasi yang mengelirukan pandangan
orang banyak terhadap dirinya.
c.
Pelanggaran terhadap privasi Andy
Soraya dan bunga citra lestari, hal ini terjadi karena penyebaran foto mereka
dalam tampilan vulgar kepada publik.
Comments
Post a Comment